20 November 2007

Petasan dan Djakarta tempo doeloe


Saya wong Jowo ndeso asli, lahir dan besar di Yogyakarta pinggiran (Wates Kulonprogo), tapi gak ada salahnya kan saya nulis tentang kebudayaan daerah yang bukan milik daerah saya. Yah itung-itung sebagai “selemah-lemahnya usaha” turut melestarikan budaya lokal Indonesia.

Pas nengokin kawan saya yang lagi sakit, saya nemu buku bagus diantara deretan koleksi bukunya. “Robin Hood Betawi”, begitu judul yang tertera disampul buku itu. Buku karya Alwi Shahab yang saya yakin banget digunakan teman saya itu buat referensi nyusun tugas akhirnya dulu yang bertema kebudayaan Betawi. Postingan kali ini saya ambil dari salah satu bab di buku itu, yah untuk antisipasi aja kalo2 ada blogger yang pernah baca buku itu dan kebetulan baca postingan saya ini dan mencibir “halah si Tukang Nggunem itu gunemannya gak orisinil, njiplak buku..”, ya biarin wong blog-blog saya sendiri kok, huehehehehe.....

Petasan(mercon), saya yakin sampeyan semua tau benda itu. Benda yang melibatkan gulungan kertas, bubuk mesiu, dan sumbu itu biasanya populer pada saat bulan ramadhan. Sering juga kita lihat di tipi pada upacara kawinan adat betawi saat pengantin laki-laki datang bersama arak-arakannya, petasan disulut untuk memeriahkan suasana. Suara gambang kromong betawi ditingkahi dar der dor bunyi petasan menjadikan suasana meriah, setidaknya itu yang saya tangkep lewat tipi.

Pada sekitar awal abad ke-18, Jakarta yang waktu itu masih bernama Batavia, 30% dari sekitar 50 ribu penduduknya adalah orang-orang Cina. Belanda atau kompeni sejak awal memang membutuhkan orang-orang Cina itu untuk membangun Batavia. Orang-orang Cina memang dikenal karena etos kerjanya ; ulet, pantang menyerah, dan pekerja keras. Nah, meski tinggal jauh dari kampung halaman, para imigran dari Cina itu tetap nguri-uri kebudayaan asli nenek moyang mereka (ini yang harus di contoh), salah satu diantaranya adalah petasan.

Di Cina sendiri, petasan pada awalnya digunakan untuk mengusir setan, demit, iblis atau apalah yang menurut kepercayaan mereka menyebabkan berbagai wabah penyakit. Pada mulanya untuk mengusir para lelembut tadi, penduduk memukul benda-benda yang bersuara nyaring seperti seng, tambur, atau gendang. Tapi mungkin lelembutnya udah nggak ngefek lagi diusir pake cara itu, akhirnya diciptakan petasan yang dapat berbunyi lebih nyaring dan dapat dilempar-lemparkan untuk ngusir para lelembut tadi. Dan kebudayaan petasan itu akhirnya terbawa sampai ke Jakarta oleh para imigran Cina tadi.

Entah siapa yang memulai, akhirnya orang-orang Betawi meniru kebudayaan petasan tadi. Tapi bedanya kalo pada masyarakat Betawi petasan dipake untuk alat komunikasi antar kampung. Waktu itu Jakarta masih berupa kampung-kampung yang penduduknya juga masih sunyi senyap, satu kampung bisa hanya terdiri dari 6-7 rumah yang umumnya masih ada hubungan kekerabatan. Nah petasan ini dipake untuk memberi tahu dan mengundang penduduk lain kampung kalo ada sebuah hajatan di kampung sebelahnya. Banyak sedikitnya rentetan petasan yang dibunyikan, menunjukan status sosial orang yang bersangkutan. Semakin tinggi status sosial seseorang, maka semakin banyak dan panjang juga rentetan petasan yang dibunyikan.

Pada akhirnya petasan udah berakulturasi dengan kebudayaan lokal dan berkembang menjadi kebudayaan Betawi/Jakarta. Alangkah sayangnya jika sebuah kebudayaan asli daerah harus tergerus dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang menyerbu Indonesia dengan tanpa ampun. Misalnya, ini cuma misalnya lho... banyak generasi muda Jakarta sekarang yang bisa lebih gamblang menceritakan asal muasal seni beladiri Capoeira yang dari Brasil itu daripada seluk beluk pencak silat, pasti banyak juga yang plonga-plongo waktu ditanya alat musik angklung itu asli mana, tapi mereka ikut heboh tereak-tereak maling, grudak-gruduk berdemo, bahkan sampe bikin stiker dan nyablon kaos segala, pas media nasional ngasih kabar kalo itu udah diklaim jadi milik negara tetangga.

Tapi ya gimana lagi, wong kita tidak bisa memaksakan agar para generasi muda itu melestarikan dan mempelajari kebudayaan asli daerahnya, jadi kalo misalnya ada pihak laen yang mau dan mampu melestarikan dan menjaga kebudayaan yang aslinya milik kita, ya mending diikhlasin aja. Lha situ bisa tereak-tereak maling tapi apa usaha yang udah situ lakukan buat menjaga barang anda itu biar gak dimaling?? gitu aja kok repot....

* Paragraf terakhir merupakan pemikiran yang muncul setelah melihat dikoran bule-bule pada main gamelan sementara dihalaman laen ada seorang anak remaja Indonesia yang piawai banget maenin komposisi musik klasik dengan piano

Gambar ilustrasi ngambil dari sini


16 comments:

adekjaya said...

pesen mercon mas..sak karung..

`.¨☆¨geLLy¨☆¨.´ said...

merinding jadinya...ingat mercoN!!


iya aku sendiri kemarin tanya tu ama adek tahu tek itu asli masakan mana??wehH arek jatim dewe ra ngerti??la lali tenan je...


adek sendiri ra ngerti tiwas?? wehh ampe saiki rung ngerti..


melestarikan dan mempelajari kebudayaan asli wahh rada susah juga joeLL...kadang org itu malah lbh tertarik milik org lain dr pada miliknya sendiri??wahh ini virus2 ga' blh2...tahan nafas dlm2 istifar...

GHATEL said...

Nek wong Jakarta nggango mercon pas enek kawinan, nyunatno, trus nek merconan pas Ramadhan subuh2 saiki wes rondo' arang, ora koyo wktu jamanku sih SD, rame angger isuk, ra ngenaki wong turu...

Anonymous said...

Cina memang memberi pengaruh yang besar pada kebudayaan di beberapa wilayah di Indonesia. Cina khan memang lebih tua budayanya, orang Jawa bilang, menang awu.
Saya juga suka dengan cewek cina, yah mencoba berakulturasi juga, ;)

*Seleb blog rajin posting, nda

Budi Prihono said...

kasus iniseperti yang saya alami di kampung saya. Banyak orang tua berteriak teriak agar anaknya bisa boso KROMO tapi tidak ada upaya untuk memberi sebuah edukasi untuk melestarikannya. Dari caranya mendidik anak sehari-haripun mereka menggunakan boso ngoko, padahal secara tidak langsung mereka sudah mengajari NGOKO sejak dari kecil. Ada sebuah dilematika bagi sianak, untuk melestarikan atau melenyapkan, padahal jaman sekarang ini sudah identik dengan bhs internasional. Soal bule - bule belajar gamelan, itu biasa, mereka belajar gamelan untuk memperkaya skill-nya, saya rasa ada tujuan komersil kedepannya oleh bule-bule itu, misalkan mematenkan gamelan sebagai alat musik mereka, seperti kasus TEMPE yang diakui oleh JEPANG:) thanks

Herru Suwandi said...

gak suka mercon mas, suka bikin jantungan, satu-satunya yang saya suka adalah kepiting mercon dari Tuban, kepiting yang dimasak pueddesss poll

Vie said...

Jadi kapan giliran cerita tentang "Medan"?
Bule belajar gamelan karena mereka seneng ama yg exotic. Ya anak remaja Indonesia maen kompo musik klasik dgn piano karena si remaja suka dengan musik yang exotic juga. Hehehehe...

sayurs said...

komenku ilang )(*&^%%#@$^%

Anonymous said...

em, saya kok merasa ironis tentang pelestarian budaya lokal oleh para generasi muda. kalo sampeyan baca kompas tentang pencurian koleksi museum di museum radyapustaka,solo beberapa waktu lalu...yang terlibat malah pengelolanya sendiri, sampai saat ini, poltabes solo telah menetapkan mbah Hadi sebagai tersangka. wah kalau generasi tuanya saja ndak melestarikan,ndak memberi contoh, gimana kebudayaan lokal mau lestari. semoga kasus ini menjadi pelajaran bagi pengelola2 museum lain. jangan sampe ada domba berbulu serigala yang terlibat dalam stuktur organisasi museum...smoga ini menjadi momen sebagai awalan untuk melestarikan kebudayaan2lokal Indonesia...masak rela, kalo mau diklaim lagi sama negeri tetangga kita...jangan sampe...lama-lama habis...

Anonymous said...

jajalo nggawe mercon neng wadah biskuit khong guan sing diisi obat mercon sak kilo. disulut ng ngarep koramil... itung itung uji nyali...

Anonymous said...

baca juga mas buku2 tulisan firman muntaco.. lucu lucu

Ros Marya Yasintha said...

Kalo menurut saya,kebudayaan Cina mungkin saja mempengaruhi kebudayaan Betawi,namun kalau dilihat dari fungsi mercon(petasan)pada dua kebudayaan ini sangat beda.
Bukan tidak mungkin manusia yang berbeda tempat dan waktu punya satu cara membuat sesuatu (pada hal ini bahan yang bisa meledak), kemudian mempergunakannya dalam kehidupan turun menurun.

* hehehe..sok tau saya muncul lagi nihhh..kayaknya kita mesti nanya sama yang tau sejarah dan budaya ..:
ini cuman analisa saya saja..

Saya tidak keberatan bila petasan dipakai menjadi alat dalam ritual adat tetapi harus diawasi peredarannya dan penggunaannya. Jangan sampai dibuat menjadi bahan mainan anak-anak remaja, seperti sekarang.

Iman Brotoseno said...

budaya betawi memang penuh dengan aneka ragam budaya cina, portugis dll..cuma kekeyaan ini seolah olah menjadi sirna begitu melihat beringas beringas dan sok jawaranya, FBR ( forum betawi rempug ) atau FORKABI..

icHaaWe said...

iya bener...heran...gak cuma betawi aja..tapi untuk indonesia secara umunya...yg males banget ato mungkin malu ato emang gak tau menau sama budaya sendiri... makanya budaya kita banyak dicolong tetangga sebelah...
anak2 muda jaman sekarang mah lebih bangga ngikutin budaya hollywood.

Tapi dilain sisi... apalagi diluar indonesia...budaya indonesia justru lebih berasa...
Aku pas dijakarta boro2 belajar gamelan, dengerin ato liat konser gamelan aja gak pernah.
Eh pas kuliah keluar, malah ikutan tim gamelan indonesia... ternyata seru juga mukul2 gamelan :P
yah gitu deh.. kepanjangan yee komennya

Lovely Dee said...

Negara tetangga yang sukanya maling dan ngrebut2 itu memang nyebahi banget. Lagu Rasa Sayange, trus Angklung, trus.. baru2 ini mengklaim suatu jenis tarian yang hampir ga ada bedanya dengan reog ponorogo sebagai milik asli daerahnya (Johor & Selangor).

Padahal Pemkab Ponorogo udah mematenkan hak cipta tarian reog ponorogo sejak Januari 2004. Dan le nyebahi lagi, koq ya peralatan reognya pesennya ya di Ponorogo Jatim. Lha wis maling, carane maling ra intelek meneh... Ra nduwe isin..

Naudzubilah, sifat2 yang kayak gitu jgn sampe nurun ke anak,putu,bojo,keluarga lan negaraku..

Anonymous said...

Your blog keeps getting better and better! Your older articles are not as good as newer ones you have a lot more creativity and originality now keep it up!

 
;