14 September 2006 1 comments

Carpe Diem

Baru-baru ini saya baca sebuah novel roman yang berjudul Dead Poets Society milik teman, hal yang jarang sekali saya lakukan, saya tertarik untuk membacanya karena saya sudah mendengar judul itu terlebih dulu pada sebuah film, ternyata benar, novel tersebut diangkat dari sebuah film dengan judul yang sama. Lembar demi lembar menemani mata saya menjemput kantuk, banyak sekali sajak-sajak yang sungguh saya tidak bisa mengerti satu pun makna dan keindahannya. Bagi saya yang awam terhadap puisi dan semacamnya, puisi hanyalah sekedar rangkaian kata-kata berirama yang mendayu-dayu dan melankolis, tentu saja banyak yang akan menghujat pernyataan saya ini.
2 malam saya habiskan novel tersebut, keseluruhan ceritanya seputar isu kebebasan dalam dunia pendidikan dan kebebasan menentukan jalan hidup dengan ending yang tragis, satu hal yang saya benci banget. Tapi ada hal lain yang menarik perhatian saya, yaitu dengan diulang-ulangnya kata kata carpe diem, dari bahasa latin yang artinya “raihlah kesempatan”. Saya memaknai hidup ini sebagai sebuah kesempatan dimana kita harus meraih salah satu dari kesempatan itu, yang kadang kesempatan itu tidak datang dua kali dalam hidup kita, namun akan selalu ada kesempatan lain yang datang menghampiri dan menunggu kita untuk meraihnya. Segera saja terlintas satu pertanyaan di kepala saya, yang tentu saja saya tujukan untuk diri saya sendiri, “Apakah akan kamu biarkan kesempatan demi kesempatan itu pergi begitu saja?”. Hidup ini adalah pilihan, teman saya selalu bilang begitu(dan dengan segala kesombonganku saya terpaksa mengakuinya bahwa itu memang benar), dan berkat pilihan itulah, terlepas dari benar atau tidak, saya menjadi seperti sekarang ini. Pilihan hidup yang dulu saya buat mengantarkan saya untuk membuat sebuah pilihan baru(semoga saya bisa konsisten dengan pilihan yang ini)karena saya tidak puas dengan pilihan lama yang telah terlanjur saya ambil. Tapi saya tidak menyesal, karena menurut saya hidup ini adalah sebuah proses. Tidak mudah memang memperjuangkan pilihan hidup yang telah kita yakini, karena kadang pilihan tersebut tidak sejalan dengan apa yang diharapkan orang-orang terdekat kita, orang tua misalnya, untuk itu saya bungkukkan badan sedalam-dalamnya untuk orang-orang yang dengan gigih telah memperjuangkan apa yang diyakininya dalam hidup. Jangan pernah takut salah untuk memilih, karena kesalahan bukanlah kegagalan namun sebuah kesuksesan menemukan satu lagi cara yang salah untuk menuju keberhasilan sehingga kita bisa menghindarinya pada langkah selanjutnya.
Carpe Diem, raihlah kesempatan, apapun itu, karena tidak akan datang lagi kesempatan yang sama untuk kedua kalinya.
Untuk salah satu kawan saya, ada satu kalimat dalam tulisan saya ini yang saya tujukan buat kamu, golekono dewe Don…
12 September 2006 3 comments

WHO IS YOUR HERO?


Sejak dari sekolah dasar kita udah di didik(kalo gak mau dibilang dipaksa) untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dalam diri kita. Pasti semua pada masih inget gimana rasanya berpanas-panas ria tiap hari Senin untuk mengikuti sebuah seremonial pengibaran selembar kain dua warna(merah putih), yang pada saat kain tersebut dikikatkan pada sebuah tali lalu dikerek(boso indonesiané opo yo?) keatas kita semua harus hormat padanya. Hal-hal yang sangat seremonial, berbau unsur paksaan dan doktrinasi itu diulang2 terus tiap hari Senin. Ngomong2 kalo ada yang tau knapa harus hari Senin tolong kasih tau saya ya...
Dulu pas SMP saya ingat banget setiap hari Senin seorang guru BP yang kecil tapi kondang galaknya itu(skarang udah almarhum) berkeliling dari kelas ke kelas untuk ngoprak-oprak( gak ada di kamus BI ) setiap murid agar ikut upacara bendera, bahkan yang kedapatan gak bawa topi seragam kena hukuman(minimal dikucilkan dari barisan). Akhirnya bukan lagi rasa nasionalisme yang muncul tapi hanya sekedar pemenuhan kewajiban aja(dengan sedikit embel-embel terpaksa). Rata-rata yang terjadi kaya gitu hingga akibatnya bisa dilihat pada masa sekarang ini, rasa nasionalisme pada anak-anak muda(termasuk saya mungkin) sangatlah rendah. Saya sebel banget tiap lihat artis ABG yang plagiatnya Christina Aguillera itu ngomong di TV, dengan sok-nya dia ngomong pake bahasa inggris seolah-olah kesulitan nyari ungkapan yang pas dalam bahasa indonesianya, emang dia pikir dapet duit banyak dari mana?dari Amerika?
Yang juga bikin saya prihatin lagi kemaren menjelang tgl 17 Agustus di TV ada beberapa anak SD Ibu Kota(kira2 kelas 4-an) ditanya mengenai lambang negara Indonesia burung apa, sang anak dengan polosnya jawab burung gelatik(nduasmu dik...!!!), terus disuruh nyebutin nama salah satu pahlawan nasional dia gak bisa(opo tumon???)
Ada lagi yang menggambarkan parahnya rasa nasionalisme di kalangan anak muda, ini tentang Che Guevarra, dengan mudahnya kita bisa nemuin gambar kepala mas Che ini yang pake baret khasnya yang dihiasi bintang dengan rambut awut2an gak pernah sisiran menghiasi kaos-kaos baik produk pasar sampe bikinan distro. Belum lagi yang dalam bentuk Pin sampai sabuk pun ada, kondang banget ya dia...padahal apa sih yang udah mas yang satu ini kerjakan buat bumi pertiwi kita ini?GAK ADA.....lalu kenapa para remaja sekarang begitu memujanya?bahkan gak sedikit yang bisa nyeritain kisah heroiknya mimpin revolusi di negara yang berada jauh pada belahan bumi lain, juga bisa jelasin dengan gamblang kapan koitnya dan apa hubungannya sama om Fidel Castro (kalo sama om Farhan kenal gak ya?hehehe)
Trus bagaimana dengan nasib pahlawan lokal?ambil saja satu contoh Bung Tomo...berapa banyak yang tau apa aktivitasnya sampe disebut Pahlawan? Foto ini juga saya jumpai pada buku pelajaran sejarah saya di SMP kalo gak salah, foto Bung Tomo yang pake topi khas pejuang kemerdekaan, apa ya namanya(mirip Peci) dengan angle yang diambil dari bawah dan dengan pose sedang menunjuk dan mulut terbuka seolah-olah lagi ngasih komando anak buahnya, kharismatik banget menurut saya...Saya belum pernah sekalipun liat gambar bung Tomo ini menghiasi kaos-kaos atau pin yang di pake remaja sekarang(nek ono tak tuku tenan).
Kemudian saya bisa memahami kalo suatu saat Kuba negara kecil yang jualan cerutu itu jadi negara yang besar, bagaimana tidak, pahlawannya aja bisa sampe di puja-puja di negara lain yang mungkin orang kuba sendiri gak bisa nunjukin dalam peta. Dan saya juga bisa maklum kalo Indonesia sulit jadi negara besar, karena nasib para pahlawannya sendiri hanya menjadi cerita dalam buku pelajaran sekolah yang sekali dibaca tapi sekeluar dari sekolah udah lupa. Bahkan sampe saat ini bisa dengan mudah kita jumpai para veteran perang kemerdekaan yang setelah berhasil memerdekakan Indonesia iin ternyata sekarang harus berjuang lagi memerdekakan dirinya sendiri dari kemiskinan dan kesusahan, yang didapat dari pemerintah cuma bintang jasa dan uang pensiunan yang mustahil untuk bisa hidup di Jaman sekarang. Ingatlah bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengingat dan menghargai jasa para Pahlawannya.
Akhirnya saya ucapkan selamat ulang tahun ke-61 buat Indonesia. MERDEKA!!!!!!!!!!
1 comments

Street Fighter


Dulu pas baru aja bisa motret saya seneng banget hunting foto kesana kemari, dan seperti jamaknya para beginner di dunia fotografi kebanyakan foto-foto yang saya hasilkan bertemakan human interest, foto yang ini saya peroleh di perempatan kantor pos besar Jogja, bahkan sampe sekarang saya masih bisa menemui obyek yang saya ambil fotonya(candid of course) tersebut setiap lewat perempatan kantor pos besar Jogja. Saya bukan seorang pengamat sosial, tapi entah kenapa saya mudah tersentuh bila melihat fenomena-fenomena sosial yang apabila saya bandingkan dengan keadaan diri saya, saya bisa langsung mengucap syukur kepada Tuhan telah dilahirkan sebagai diri saya. Seperti dikota-kota besar lainnya di Indonesia, Jogjakarta juga memiliki banyak masalah sosial seperti pengemis dan anak jalanan. Kalo saya amati umur anak-anak jalanan itu berkisar 5 – belasan tahun, yang mana pada saat umur segitu saya masih bermanja-manja ria dengan orang tua saya dan bisa ngambek sengambek-ngambeknya hanya karena snack yang dibawa bapak saya sepulang kantor sama dengan snack yang dibawa bapak saya pada hari kemaren. Saya jadi mikir bahwa hak anak-anak jalanan tersebut untuk bermanja-manja dan memperoleh kasih sayang dari orang tua mereka harus terampas di jalanan, belum lagi nasib masa depan mereka. Paling banter saat mereka besar akan naik pangkat jadi preman, dan bagaimana juga dengan kekerasan di Jalanan yang senantiasa mengintai mereka? Bisa gak sih diadukan ke komnas HAM?? Lha terus yang jadi suspect-nya siapa?nasib karena hidup miskin?atau Tuhan karena telah menakdirkan mereka lahir miskin?
Tapi jangan salah, mungkin dari segi penghasilan anak-anak jalanan tersebut bisa lebih punya duit dari kita yang mahasiswa ini. Di salah satu acara TV favorit saya, OM FARHAN, pernah satu kali disinggung mengenai anak2 jalanan ini saat membahas mengenai premanisme, diungkapkan bahwa menurut survey yang dilakukan di Jakarta penghasilan anak-anak jalanan itu rata-rata mencapai 20 ribu per hari. Dan saat ditanya untuk apa duit segitu, jawaban yang teratas adalah jajan, kemudian maen video game dan yang terakhir untuk setor pada senior(preman). Perputaran uang pada anak jalanan perhari di Jakarta bisa mencapai 1,5 M, wuihhh………..
Kembali ke Jogja, coba kita muter-muter lewat perempatan gramedia, kantor pos besar atau pertigaan di jalan solo yang menuju IAIN(sekarang UIN) banyak anak-anak jalanan yang dengan sigap mengulurkan tangan meminta simpati dari setiap pengguna jalan saat lampu merah, tapi bagaimana mau bersimpati saat melihat kepinggir jalan melihat orang tua anak jalanan tersebut duduk-duduk bergerombol dipinggir jalan ngobrol dengan sesama orang tua anak jalanan. Rata-rata para ibu2 itu terlihat sehat walafiat, bahkan ada yang fisiknya terlihat subur(bukannya iri karena saya kurus).Apa-apan ini?knapa para orang tua yang sehat itu malah mengaryakan anaknya untuk nyari duit?lalu dimana tanggung jawab mereka sebagai orang tua?kayaknya mereka deh yang pantas diadukan ke komnas HAM, atau komisi perlindungan anak miliknya kak Seto. Saya jauh lebih respect pada seorang ibu yang ngutil di supermarket untuk sekedar memberi susu pada anaknya, toh supermarket itu gak bakalan bangkrut hanya dengan kehilangan satu kaleng susu saja. Sedangkan kalo ditanya balik apa yang bisa saya lakukan buat mereka, sejauh ini saya cuma bisa menyodorkan sejumlah receh dan segenggam simpati saja buat mereka, karena saya belum punya kemampuan yang lebih dari itu untuk mendirikan sebuah yayasan atau apalah, semoga saja suatu saat nanti kalo saya sudah “jadi orang” saya bisa berbuat lebih bagi mereka,aminn…Jadi buat teman-teman yang bisa baca tulisan ini, sangat beruntunglah kamu karena disaat para street fighter itu harus berpanas-panas hingga gosong kulitnya demi sedikit receh kamu duduk manis di warnet yang ber-AC dan dengan enteng menrogoh minimal 3000 dari kantong untuk menikmati salah satu keajaiban teknologi ini.
 
;