Bagi sampeyan blogger semua yang berdomisili di Jogja, pasti sudah pada denger tentang Peraturan Walikota no 24 Tahun 2008 tentang pedoman peraturan dan tata tertib sekolah. Di dalam peraturan tersebut terdapat poin yang menyebutkan bahwa wajib mengenakan batik bagi seluruh pelajar pada hari Jum’at dan seragam bebas pada hari Sabtu. Sebagaimana peraturan-peraturan baru lainnya yang pasti menuai pro dan kontra, begitu juga dengan yang satu ini. Untuk yang seragam bebas sudah jelas pro dan kontranya berhubungan dengan kekhawatiran akan berpindahnya catwalk ke sekolah-sekolah, tentang bagaimana dengan anak orang yang tidak mampu akan minder karena berpakaian ala kadarnya, dan bla bla bla....gak menarik lagi buat dibahas.
Yang menarik bagi saya adalah tentang peraturan berbaju batik itu. Saya kira tujuan awalnya baik dan sudah jelas; turut berpartisipasi nguri-uri salah satu budaya bangsa yaitu batik itu sendiri. Namun implementasinya tidak akan sesimpel itu. Saya sendiri berpendapat bahwa nguri-uri atau melestarikan, apapun itu, tidak akan bisa dengan paksaan, harus tulus dari hati nurani pribadi masing-masing. Nah yang namanya peraturan kan berarti mewajibkan, mewajibkan sendiri artinya beda-beda tipis dengan memaksa, apakah dengan paksaan untuk melestarikan suatu kebudayaan itu akan bisa membuat budaya tersebut lestari? Bagaimana setelah peraturan itu tidak lagi mengikat mereka, misalnya sudah lulus sekolah, apakah masih bisa berkelanjutan hal-hal yang baik tadi? Mengingat selama ini mereka melakukan karena sebuah keterpaksaan?
Diluar perkara paksa memaksa itu sendiri ada yang lebih konkret disini. Batik yang asli budaya Indonesia adalah batik tulis, sementara harga batik tulis itu sendiri, sampeyan juga pasti paham, muahaalll... Nah kalo akhirnya pihak sekolah tunduk pada peraturan Pak Wali tadi dan mewajibkan anak-anak didiknya berseragam batik, maka saya yakin batik-batik yang akan dikenakan para siswa tadi adalah batik cap, bukan batik tulis. Nah ini juga sudah salah kaprah lagi, nanti bisa-bisa anak-anak muda yang polos tadi beranggapan bahwa batik yang selama ini di agung-agungkan sebagai budaya luhur bangsa Indonesia, adalah batik cap yang setiap hari jum’at mereka kenakan itu. Mereka akan mengenal batik tanpa tahu apa itu canting, apa itu malam, dan tanpa pernah melihat betapa eksotisnya ibu-ibu yang berulangkali meniupi cantingnya setelah dicidukkan ke wajan kecil diatas tungku,sebelum menggoreskannya pada selembar kain putih cikal batal kain batik.
Hmmm...knapa saya jadi orang yang selalu kritis pesimis kayak gini ya? Semoga kekhawatiran saya tinggal sebuah kekhawatiran tanpa alasan belaka. Semoga langkah Pak Walikota Herry itu benar-benar membantu lestarinya kebudayaan batik Indonesia.