26 November 2007 21 comments

Guru

Kita jadi bisa menulis dan membaca karena siapa...Kita jadi tau beraneka bidang ilmu dari siapa...

Kalo gak salah begitulah sepotong bait lagu jaman dulu yang didedikasikan buat para guru. Yap, betul sodara-sodara sekalian. Seperti yang sudah sampeyan semua tebak kalo guneman kali ini akan membahas tentang profesi mulia yang bahkan memiliki gelar sendiri yaitu sebagai “Pahlawan tanpa tanda Jasa” itu. Sampeyan boleh nerusin mbaca kalimat per kalimat dalam guneman ini, ato monggo juga kalo mau njujug ke paragraf terakhir. Hahaha...nyante aja bos....

Pada jaman baheula, para priyayilah yang menjadi guru. Mereka menularkan kawruh mereka pada anak-anak dilingkungannya dan benar-benar tanpa pamrih. Mereka benar-benar digugu dan ditiru. Itulah kenapa jaman itu profesi guru sangatlah prestisius, kajen istilah jawanya.

Mungkin sampeyan pernah denger sebuah cerita tentang Jepang, negara yang ya ampun deh majunya itu sekarang, dulu pas habis dijatuhi bom atom oleh Amerika, sang kaisar bukannya menanyakan berapa jumlah bangunan yang rusak, berapa kerugian materiil yang dialami, tapi yang langsung dikaruhke sama Sang Kaisar waktu itu adalah “ Berapa jumlah guru yang masih Hidup”. Itulah salah satu gambaran betapa pentingnya seorang guru bagi sebuah bangsa. Bahkan Malaysia dulu katanya juga mengimpor guru dari Indonesia lho..huebat to?? Jadi mungkin saja para wong pinter di Malaysia yang punya inisiatip ngeklaim ini itu milik Indonesia itu, bisa jadi pinter berkat wong Indonesia, bukankah itu namanya durhaka??? Bisa dikutuk jadi batu kalo begitu...hayahhh....

Saya dibesarkan dalam lingkungan pendidikan. Bapak saya guru/kepala sekolah. Dan Pakdhe-pakdhe saya(dari pihak bapak) yang berjumlah 6 itu, 5 diantaranya berkecimpung juga dibidang pendidikan(guru/kepala sekolah). Jadi sedikit banyak saya bisa nggragap bagaimana hidup seorang guru. Kalo mau dibilang profesi yang paling mulia, saya kira kok terlalu berlebihan dan dapat menimbulkan kecemburuan bagi profesi-profesi laen. Cuma yang saya tau, dari pengalaman dan pengamatan saya, gak ada guru, yang benar-benar hanya menggantungkan hidup dari profesi itu, yang bisa kaya raya. Jadi menurut saya, para guru itu besar pengorbanan dan pendapatan yang diperoleh gak sebanding. Lha monggo dibayangin rame-rame, para guru itu memikul tanggung jawab yang teramat besar bagi masa depan sebuah negara. Mungkin lebih besar tanggungjawab moral yang dipikul oleh para guru dari pada yang dipikul oleh para anggota DPR, tapi knapa gaji guru bisa hanya 1/10-nya dari gaji para anggota DPR?? Kenapa juga lagu Iwan Fals yang judulnya Oemar Bakri itu menggambarkan seorang guru yang menaiki sepeda kumbang? Bukannya seorang guru yang naik BMW?

Kenapa dan kenapa...selalu kata ini yang muncul di guneman saya..menandakan ketololan yang punya guneman...tanya teruss...

Dengan tanggung jawab yang sebegitu besar, bagaimana dengan kesejahteraan mereka? Ya dari pernyataan awal saya tadi bahwa guru gak ada yang kaya, maka bisa sampeyan simpulkan sendiri lah. Tapi sejak awal mungkin para pendidik itu sudah menyadari konsekwensi gak bisa kaya tadi pas mereka memutuskan menjadi seorang guru. Profesi guru lebih kepada pengabdian daripada untuk mengejar kekayaan. Lha misal mau korupsi ya korupsi apa?? Spidol? Papan tulis? Hahaha...

Kalo sampeyan mengkonter guneman saya ini dengan, kok ada guru yang mencabuli anak didiknya? Kok ada guru yang maen duit buat mark up nilai murid? dan kok ada-kok ada laennya...ITU OKNUM!!! Mereka palsuu...bukan guru dan pendidik sejati, sumpah pengabdian mereka gak tulus...mereka bajingan..mereka asu..mereka tai kebo...merusak citra para guru saja. Sori kalo emosi, lha di benak saya (terlepas dari profesi bapak saya sendiri), seorang guru itu mulia sekali.

Pernah nyoba menyambangi mantan SD sampeyan dulu. Cobalah sekali-kali dan temuilah mantan guru sampeyan dulu kalo masih ada. Ketika tau kalo sampeyan sudah kerja jadi anu... atau sudah kuliah di universitas anu...lihatlah raut muka mereka. Sebuah kepuasan yang jujur melihat anak didiknya telah berhasil.

Maturnuwun ya Pak dan Bu Guru. Kalo gak ada panjenengan semua, mungkin blog Gunemanku ini juga gak bakalan ada. Mari kita sejenak merenung dan mengenang kembali masa-masa sekolah kita dulu, dan mari kita berterimakasih kepada para guru kita itu, cukup dalam hati saja, karena mereka sebenarnya tidak mengharapkan ucapan terimakasih dari kita, percayalah...

Gurulah pelita, penerang dalam gulita, jasamu tiada tara.

24 November 2007 21 comments

Pengamen Cilik dan Artis Cilik

Kedua subyek diatas sama-sama memiliki predikat “cilik” dibelakangnya. Profesi dari kedua subyek tadi juga sama-sama bertujuan menghasilkan uang. Dan yang terpenting adalah mereka sama-sama harus kehilangan masa kecil mereka.

Masalah eksploitasi anak baru-baru ini hangat lagi muncul ke permukaan. Seiring dengan huru-hara yang menimpa keluarga Ahmad Dhani dan Maia Estyanti. Masih terekam jelas ketika mbak Maia ngobrak-abrik lokasi syuting anak-anaknya. Masalah huru-hara ini sampai melibatkan sebuah komisi yang melindungi hak-hak anak (KPAI bukan ya??).

Menurut saya yang goblok ini, seharusnya Komisi itu menambahkan kata “artis” dibelakang namanya : Komisi Perlindungan Anak Artis Indonesia. Lha gimana to, kalo memang benar-benar berniat melindungi hak-hak anak di Indonesia, itu di perempatan-perempatan jalan banyak banget anak-anak yang harus dilindungi hak-hak mereka. Bukan hanya anak-anak para selebritis yang hobi kawin cerai gak jelas yang harus serius ditangani dan dilindungi. Bahkan ancaman bagi mereka yang di jalanan itu lebih nyata.

Tentang orang tua yang mendaftarkan anak mereka di sekolah-sekolah modelling, dan mendaftarkan anak mereka di casting-casting sinetron tanpa ada niatan yang kuat dari si anak sendiri, dengan orang tua yang menyewakan bayi mereka sebagai properti mengemis di perempatan jalan, apa bedanya coba?? Mereka, lagi-lagi menurut saya, sama-sama mengeksploitasi anak mereka. Merampas hak hidup anak-anak mereka demi memenuhi ambisi orang tua, menjijikkan....

Kalo alasan kebutuhan ekonomi (para eksploiter anak jalanan) yang dikemukakan, lagi-lagi menurut saya itu tidak bisa diterima. Dengan menikmati proses pembuahan saja tanpa ada pertanggungjawaban pada hasilnya, itu adalah sebuah tindakan yang katrok, ndeso, njelehi, dan ya ampun amit-amit deh... Seharusnya sebelum "uh ah uh ah" bikin anak, mereka sudah harus mempersiapkan segalanya untuk merawat anak mereka. Kalo toh harus memperoleh penghasilan dari mengemis di jalanan ya jangan libatkan anak-anak dong. Biarkan anak-anak berkembang dan kalo bisa jangan mewariskan profesi hina itu pada anak-anak, mereka pantes mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mengemis adalah selemah-lemahnya usaha.

Sedangkan orang tua yang menyuruh anaknya jadi model atau artis sinetron...mmm... kenapa saya begitu yakin bahwa pemikiran anak kecil belum sampai pada popularitas yang didapat, apalagi uang berlimpah yang bakal dikeruk seandainya mereka jadi artis. Jadi menurut saya (lagi-lagi..bosen gak sampeyan pada kata2 ini?) yang mencetak meraka untuk jadi artis itu adalah orang tua mereka, dan para artis cilik itu hanyalah victim saja, korban obsesi orang tua mereka yang ngiler pada segala pernak-pernik duniawi yang menyilaukan.

Sekarang giliran KPAI tadi, halo Pak dan Bu yang mentahbiskan diri sampeyan sebagai pelindung anak...sampai dimana kerja sampeyan? Apa langkah nyata sampeyan untuk melindungi hak anak-anak Indonesia? Apakah sampeyan bekerja atas dasar hati nurani sampeyan yang benar-benar bertujuan mulia melindungi hak anak-anak Indonesia, ataukah sampeyan hanya bekerja demi uang dan popularitas? (lumayan kan sampeyan jadi sering masuk tipi). Atau jangan-jangan sampeyan bekerja di Komisi itu karena dorongan dari orang tua sampeyan, padahal sebenarnya sampeyan pengennya jadi artis??? Anda termasuk tereksploitasi berarti...hahahaha.....

Saya nggak bermaksud menyerang siapapun atau institusi manapun, saya nulis ini karena tadi siang (24/11) diperempatan Gramedia Jogja, ada seorang gadis cilik dengan pakaian lusuh dan rambut memerah kepanasan, yang kira-kira seumuran ponakan saya yang masih TK, menengadahkan tangannya untuk meminta receh pada mobil di depan saya. Sialnya lagi gak ada respon dari si pemilik mobil Baleno plat H itu.



20 November 2007 16 comments

Petasan dan Djakarta tempo doeloe


Saya wong Jowo ndeso asli, lahir dan besar di Yogyakarta pinggiran (Wates Kulonprogo), tapi gak ada salahnya kan saya nulis tentang kebudayaan daerah yang bukan milik daerah saya. Yah itung-itung sebagai “selemah-lemahnya usaha” turut melestarikan budaya lokal Indonesia.

Pas nengokin kawan saya yang lagi sakit, saya nemu buku bagus diantara deretan koleksi bukunya. “Robin Hood Betawi”, begitu judul yang tertera disampul buku itu. Buku karya Alwi Shahab yang saya yakin banget digunakan teman saya itu buat referensi nyusun tugas akhirnya dulu yang bertema kebudayaan Betawi. Postingan kali ini saya ambil dari salah satu bab di buku itu, yah untuk antisipasi aja kalo2 ada blogger yang pernah baca buku itu dan kebetulan baca postingan saya ini dan mencibir “halah si Tukang Nggunem itu gunemannya gak orisinil, njiplak buku..”, ya biarin wong blog-blog saya sendiri kok, huehehehehe.....

Petasan(mercon), saya yakin sampeyan semua tau benda itu. Benda yang melibatkan gulungan kertas, bubuk mesiu, dan sumbu itu biasanya populer pada saat bulan ramadhan. Sering juga kita lihat di tipi pada upacara kawinan adat betawi saat pengantin laki-laki datang bersama arak-arakannya, petasan disulut untuk memeriahkan suasana. Suara gambang kromong betawi ditingkahi dar der dor bunyi petasan menjadikan suasana meriah, setidaknya itu yang saya tangkep lewat tipi.

Pada sekitar awal abad ke-18, Jakarta yang waktu itu masih bernama Batavia, 30% dari sekitar 50 ribu penduduknya adalah orang-orang Cina. Belanda atau kompeni sejak awal memang membutuhkan orang-orang Cina itu untuk membangun Batavia. Orang-orang Cina memang dikenal karena etos kerjanya ; ulet, pantang menyerah, dan pekerja keras. Nah, meski tinggal jauh dari kampung halaman, para imigran dari Cina itu tetap nguri-uri kebudayaan asli nenek moyang mereka (ini yang harus di contoh), salah satu diantaranya adalah petasan.

Di Cina sendiri, petasan pada awalnya digunakan untuk mengusir setan, demit, iblis atau apalah yang menurut kepercayaan mereka menyebabkan berbagai wabah penyakit. Pada mulanya untuk mengusir para lelembut tadi, penduduk memukul benda-benda yang bersuara nyaring seperti seng, tambur, atau gendang. Tapi mungkin lelembutnya udah nggak ngefek lagi diusir pake cara itu, akhirnya diciptakan petasan yang dapat berbunyi lebih nyaring dan dapat dilempar-lemparkan untuk ngusir para lelembut tadi. Dan kebudayaan petasan itu akhirnya terbawa sampai ke Jakarta oleh para imigran Cina tadi.

Entah siapa yang memulai, akhirnya orang-orang Betawi meniru kebudayaan petasan tadi. Tapi bedanya kalo pada masyarakat Betawi petasan dipake untuk alat komunikasi antar kampung. Waktu itu Jakarta masih berupa kampung-kampung yang penduduknya juga masih sunyi senyap, satu kampung bisa hanya terdiri dari 6-7 rumah yang umumnya masih ada hubungan kekerabatan. Nah petasan ini dipake untuk memberi tahu dan mengundang penduduk lain kampung kalo ada sebuah hajatan di kampung sebelahnya. Banyak sedikitnya rentetan petasan yang dibunyikan, menunjukan status sosial orang yang bersangkutan. Semakin tinggi status sosial seseorang, maka semakin banyak dan panjang juga rentetan petasan yang dibunyikan.

Pada akhirnya petasan udah berakulturasi dengan kebudayaan lokal dan berkembang menjadi kebudayaan Betawi/Jakarta. Alangkah sayangnya jika sebuah kebudayaan asli daerah harus tergerus dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang menyerbu Indonesia dengan tanpa ampun. Misalnya, ini cuma misalnya lho... banyak generasi muda Jakarta sekarang yang bisa lebih gamblang menceritakan asal muasal seni beladiri Capoeira yang dari Brasil itu daripada seluk beluk pencak silat, pasti banyak juga yang plonga-plongo waktu ditanya alat musik angklung itu asli mana, tapi mereka ikut heboh tereak-tereak maling, grudak-gruduk berdemo, bahkan sampe bikin stiker dan nyablon kaos segala, pas media nasional ngasih kabar kalo itu udah diklaim jadi milik negara tetangga.

Tapi ya gimana lagi, wong kita tidak bisa memaksakan agar para generasi muda itu melestarikan dan mempelajari kebudayaan asli daerahnya, jadi kalo misalnya ada pihak laen yang mau dan mampu melestarikan dan menjaga kebudayaan yang aslinya milik kita, ya mending diikhlasin aja. Lha situ bisa tereak-tereak maling tapi apa usaha yang udah situ lakukan buat menjaga barang anda itu biar gak dimaling?? gitu aja kok repot....

* Paragraf terakhir merupakan pemikiran yang muncul setelah melihat dikoran bule-bule pada main gamelan sementara dihalaman laen ada seorang anak remaja Indonesia yang piawai banget maenin komposisi musik klasik dengan piano

Gambar ilustrasi ngambil dari sini


19 November 2007 23 comments

Mencari Popularitas tanpa Kreatifitas

Kalimat itu yang pernah ditujukan pada saya oleh salah satu komunitas blogger. Anjriitt..sumpah gondok banget pas dapet komen itu di tulisan saya. Namun salah saya juga gak cermat mbaca aturan maen di komunitas itu, karena setelah saya cermati ada aturan yang tidak membolehkan untuk dobel posting, di blog pribadi dan di komunitas itu. Sudahlah..itu sudah lewat dan saya udah gak ada masalah lagi...

Yang pengen saya gunemkan disini adalah masalah popularitas itu tadi. Ini erat kaitannya dengan sebutan yang sering bikin jengah, SELEB BLOG. Beberapa kali conference dengan kawan-kawan ngeblog selalu saja muncul wacana tentang selebritis blog itu. Saya sering bertanya-tanya, baik pada diri saya sendiri maupun dengan blogger laen, apa sih maksud sebenarnya selebritis blog itu? Apa kriterianya sehingga seorang blogger bisa disebut sebagai selebritis blog? Apakah dengan komen yang bertumpuk dan traffic yang sampe nembus 3 digit trus orang itu bisa disebut seleb blog? apa iya se-cetek itu parameternya? bagaimana dengan kualitas blognya? Kualitas dan kuantitas, penting mana? Berbagai cibiran muncul saat saya ngobrol dengan blogger laen, kalo si “anu” itu seleb blog, si “itu” juga seleb blog, dan mereka biasanya membuat komunitas sendiri yang eksklusif...benarkah demikian??

Banyak blog yang tulisannya benar-benar handal, dan ternyata pengunjungnya juga “biasa” aja, gak terlalu rame, gak penuh dengan sanjungan dan pujaan yang sarat dengan basa-basi busuk. Komen yang masuk juga standar, gak banyak-banyak banget tapi “berisi” semua, tidak asal komen balas budi (atau komen tuk mengharap balas budi).

Selebritis adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa inggris celebrity yang berarti pesohor atau orang terkenal. Setidaknya begitu yang saya peroleh dari wikipedia. Seorang selebritis akan cenderung untuk bertindak eksklusif. Enggan bertegur sapa dengan orang biasa, selalu suka disanjung tanpa suka menyanjung, selalu suka diramah-tamahi tanpa harus meramah-tamahi. Naudzubillah..semoga kita semua tidak seperti itu.

Mencari popularitas tanpa kreatifitas. Saya gak ada masalah dengan orang yang populer berkat kreatifitasnya, tapi saya jengah juga dengan orang-orang yang enggan berkreatifas tapi mengejar popularitas. Hanya meninggalkan secarik komentar di blog orang tanpa ada hubungannya dengan isi tulisan, apa itu bisa disebut menghargai blogger yang bersangkutan?

Kalo dikembalikan kepada saya, jujur aja saya nggak memaksakan diri saya untuk memberi komentar pada sebuah postingan jika saya nggak bener-benar tertarik dengan isinya, meski blogger yang bersangkutan aktif di blog saya (ngisi SB, kasih komen). Saya nggak mau asal nulis komen aja (nglegani istilah jawanya) tanpa saya tau dan tertarik dengan permasalahan yang diangkat. Kalo ngisi SB sih saya suka, itu salah satu cara saya menjaga silaturahmi dengan blogger laen, bukan mencari popularitas lho...

Ah entah knapa saya jadi ngerasa nggak bener kalo menggunemkan hal ini, permasalahan yang terlalu sensitif kayaknya...udah deh gak saya terusin, sampe itu aja...tidak ditujukan untuk menyerang siapapun, hanya sekedar guneman gak jelas dari saya...terimakasih, salam hangat...

12 November 2007 23 comments

Mereka yangTerlupakan

Dulu awal-awal ngeblog, saya pernah nggunem yang menyangkut tema kepahlawanan, tentang bagaimana sorang Che Guevarra bisa lebih populer daripada Bung Tomo. Kini sebagai blogger yang ngakunya peka jaman(*mode siap2 muntah is on*) maka terbikinlah guneman ini demi memperingati dan menyambut hari Pahlawan.

Setiap menjelang peringatan hari Pahlawan, diberbagai stasiun televisi selalu saja menayangkan kisah-kisah dari para pahlawan yang terlupakan. Mereka yang dulu bertaruh nyawa untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sampai sekarang juga masih harus tetap berjuang untuk memperjuangkan nasib mereka sendiri. Potret mantan pejuang yang masih harus banting tulang di usia senjanya demi bertahan hidup jamak ditemukan di negara yang “besar” ini. Para veteran perang kemerdekaan itu memang mendapat tunjangan dari pemerintah, tapi apalah artinya duit 600ribu per bulan di masa seperti sekarang, kok pelit banget to Pemerintah Indonesia ini??? Wong buat anggaran pemilu saja yang merupakan ajang pertarungan untuk berebut kekuasaan bisa sampe 47,9 trilyun. Bagaimana juga dengan milyaran rupiah yang ditilep dari bumi Indonesia yang sudah merdeka ini oleh cukong-cukong kayu macam Ade Lin yang kemudian divonis bebas oleh pengadilan? Pemerintah Indonesia seharusnya isin, malu, sama para veteran-veteran berbaret kuning itu. Mereka-mereka yang sekarang duduk di kursi empuk kekuasaan gak bakalan bisa begitu seandainya dulu para veteran itu gak berjuang mati-matian mengusir londo yang menjajah negeri ini.

Mengenai gelar “Pahlawan Nasional” sendiri, ternyata harus ada pengajuan/permohonan dari pihak keluarga atau kelompok agar seseorang dapat meraih gelar Pahlawan Nasional. Bukankah itu sama halnya dengan mengemis kepada Pemerintah demi sebuah predikat. Trus dimana arti “menghargai jasa pahlawan” kalo begitu caranya??

Kalo sampeyan belum tau ini saya kasih tau, bahwa pribadi sekaliber Bung Tomo-pun sampai saat ini belum menyandang predikat sebagai “Pahlawan Nasional” cuma gara-gara belum ada pihak yang mengajukan nama Bung Tomo sebagai Pahlawan nasional, padahal dari segi jasa, silakan sampeyan nanya sendiri sama arek-arek Suroboyo siapa itu dan apa jasa Bung Tomo.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa para pahlawannya. Ungkapan lawas banget yang selalu didengungkan di Indonesia. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah Indonesia sudah mampu menghargai jasa para pahlawannya? Upacara bendera setiap tanggal 10 November, yang biasanya dilanjutkan dengan acara tabur bunga di makam-makam pahlawan saja tidaklah cukup untuk disebut menghargai jasa pahlawan. Jadi bila ingin menjadi bangsa yang benar-benar besar, langkah awal yang paling sederhana yang harus di lakukan Indonesia adalah belajar untuk lebih menghargai jasa para pahlawannya.

06 November 2007 23 comments

PRIYAYI

Apa yang ada dibenak sodara-sodara semua saat mendengar kata “priyayi”? Kalo saya tanya hal ini pada teman saya si Ndolo, pasti dia jawabnya tempat ngopi tempat biasa kami nongkrong. Tapi bagi sampeyan semua saat mendengar kata priyayi pastilah pikiran akan digiring ke dalam kultur kerajaan pada jaman baheula. Priyayi selalu diasumsikan dengan orang terhormat dan yang berkaitan dengan kerajaan (di Jawa tentunya). Dulu banget di Surakarta ( ya sekitar tahun 1890-an lah), ketika sistem hierarki dalam masyarakat masih kental, priyayi adalah sebuah posisi yang sangat didambakan, bahkan menjadi cita-cita bagi masyarakat umum (waktu itu disebut wong cilik atau kawulo alit). Dalam masa itu Priyayi adalah pegawai pemerintah kolonial (abdining kanjeng Gubernemen) dan abdi dalem Susuhunan(baik parentah ageng maupun keraton). Apapun pekerjaannya, minumnya teh botol sosro..ehh..bukan ding..maksut saya apapun pekerjaannya, mereka yang mengabdi pada raja sudah barang tentu dia adalah priyayi. Kepriyayian pada waktu itu sangatlah dihormati tatkala pusat kekuasaan, raja, dan birokrasi kolonial memonopoli kekayaan-kekayaan simbolik maupun aktual. Ini saya cerita tentang kerajaan di Surakarta lho. Sebagaimana diketahui bahwa keraton Surakarta sangat kooperatif dan openhand terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Menjadi seorang priyayi pada masa itu sebenarnya tidak mudah. Ada beberapa tahapan sebelum seseorang dapat resmi bergelar priyayi. Tahapan yang harus dilewati adalah suwita, magang, dan wisuda. Suwita (mengabdi) ditujukan untuk mengetahui kepribadian (termasuk diantaranya kejujuran, ketekunan, kerajinan, dan kesetiaan) seorang calon priyayi. Sedangkan masa magang lebih ditujukan untuk melatih kemampuan profesional seorang calon priyayi. Setelah kedua tahapan terlewati barulah dilangsungkan acara wisuda menjadi seorang priyayi (gak tau juga pake toga pa nggak).

Perilaku seorang priyayi sendiri sudah diatur sedemikian rupa. Termasuk didalamnya aturan-aturan mengenai berbahasa, gerak gerik tubuh, air muka, kemampuan berbicara, dan moral yang baik. Sangar kan? Gak mudah memang jadi priyayi...

Pengabdian priyayi pada raja adalah mutlak. Bahkan pejah wonten ing sangandaping sampeyan dalem (mati di bawah kaki raja) adalah salah satu obsesi yang diinginkan para priyayi itu. Bagi mereka, mati dibawah kaki sang raja merupakan kamulyan ingkang dipun padosi (kemuliaan yang dicari).

Dalam perkembangannya kemudian muncul 2 macam priyayi, yaitu priyayi kerajaan dan priyayi terpelajar. Priyayi terpelajar diwakili dengan munculnya organisasi Boedi Utomo, yang kalo saya jelaskan secara terperinci disini pastilah sampeyan semua pada menguap karena bosen.

Kini, pada masa modern seperti sekarang ini, saat keraton sebagai simbol budaya telah dikepung dengan keberadaan mall-mall sebagai simbol kapitalisme, tidak ada lagi perbedaan antara priyayi dan kawulo alit (wong cilik). Nggak ngaruh banget gelar-gelar kerajaan macem Raden Mas, Kanjeng Raden Tumenggung, Radenroro, atau apalah...

Banyak wong cilik yang tumindake luwih mriyayeni (tindak tanduknya lebih terhormat) dari pada priyayi beneran, banyak pula priyayi yang tindak tanduknya tidak lebih baik dari seorang bajingan kelas terminal.

* Jangan percaya jika suatu saat ketemu oknum yang ada pada foto diatas dan mengaku dirinya sebagai priyayi. Harap segera lapor ketua RT setempat.

01 November 2007 18 comments

Presidenku Seorang Seniman

Pak SBY bikin album, bukan album foto apalagi album perangko, ini album lagu. Yap betul sodara, Pak Presiden kita ternyata juga seniman pencipta lagu (side job ya Pak?). Plok..plok..plok...salut saya sama sampeyan Pak SBY, sebagai presiden pastilah jadwal acara sampeyan itu padet banget, tapi heran dan gumunnya, kok ya sempet bikin lagu juga. Acara peluncuran 10 lagu karya Pak SBY ini dilakukan hari Minggu(28/10) kemaren, yang dihadiri oleh para pembantu-pembantunya(menteri), dan juga artis-artis papan atas Indonesia, acara itu dikemas dengan mewah layaknya sebuah konser musik besar (Kompas 30/10), ya iyalah...Presiden gitu lho...

Tapi gejala kesenimanan Pak Presiden kita itu sebenarnya sudah mulai terlihat sejak kampanye pilpres 5 taon yang lalu. Ditengah calon yang laen dengan seriusnya meneriakkan jargon-jargon kampanye disertai kepalan tangan yang terangkat, eh Pak SBY malah mengiklankan dirinya melalui nyanyian. Jargon kampanyenya yang “Bersama Kita Bisa” itu dengan indahnya mengalun melalui nada. Selain itu, dalam pemberitaan surat kabar, seringkali diberitakan SBY menyanyi dalam sebuah acara, dan yang gokilnya lagi, presiden sering gitaran bareng rombongan di dalam pesawat saat melakukan perjalanan diplomatik. Top dah pokoknya Pak...

Politik dan seni. Dua bidang yang kalo sekilas dilihat sebenarnya bertolak belakang. Politik yang identik dengan para pelakunya yang kebanyakan botak, berpakaian formal, permainan-permainan licik dan “bunuh-bunuhan”, sedangkan seni yang dekat sekali dengan unsur keindahan dan estetika, selain pelakunya yang jarang banget bersentuhan dengan segala hal yang formal. Terus apa jadinya semisal dua unsur tadi digabungkan, apakah lalu akan tercipta sebuah seni politik? yang didalamnya ada acara “bunuh-bunuhan” tadi tapi dengan cara yang indah, “membunuh dengan indah”, keren juga kayaknya...hahaha...

Kembali ke Pak SBY yang udah ngeluarin album tadi, saya sebenernya seneng banget kalo ternyata RI 1 kita itu memiliki jiwa seni yang tinggi. Itu artinya pak SBY masih mempunyai nilai-nilai keindahan dalam jiwanya, bukan melulu berkutat dengan kekuasaan.

Setidaknya para seniman lebih bernurani dibandingan dengan pure politician (menurut saya lho). Yang dilakukan para seniman itu, apapun bidangnya, murni untuk menghibur orang banyak. Andaikata menghasilkan banyak duit untuk dirinya dari berkesenian itu ya mereka anggap sebagai side effect aja.

Bandingkan dengan para politikus itu, saya nggak bermaksud mendiskreditkan lho, tapi image yang mereka bentuk dimasyarakat memang sudah begitu, bermulut manis,mengobral janji, selalu berorientasi pada kekuasaan, dan lebih sering hanya mementingkan kelompok dan dirinya sendiri saja.

Jadi mari kita jangan hanya mengecam kegagalan-kegagalan dari pemerintahan Pak SBY ini, tapi ada baiknya sekali-kali kita nilai Pak SBY dari sudut pandang yang sama sekali jauh dari unsur politik. Agak sulit memang, karena memang hal yang paling mudah adalah untuk mencari-cari dan mengecam kesalahan orang lain. Dasar manusia....

Gambar Pak SBY dapet dari sini

 
;